Sistem Pengadaan Barang/Jasa Elektronik atau e-procurement telah menjadi bagian dari sistem pengadaan barang/jasa pemerintah dalam satu dekade terakhir. Sistem elektronik ini mulai diperkenalkan pada tahun 2003, tepatnya melalui Instruksi Presiden no. 3 tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-government. Menurut LKPP, keluarnya Inpres ini berkaitan dengan kebijakan ekonomi pada saat dan setelah berakhirnya program kerjasama pemulihan ekonomi dengan International Monetary Fund (IMF). Selain itu, Inpres ini juga merupakan bagian dari program stabilitas ekonomi makro, yang mewajibkan pemerintah untuk mengembangkan dan mengimplementasikan e-procurement. Pada intinya, melalui Inpres ini, pemerintah membolehkan pengadaan barang/jasa melalui e-procurement dan bahwae-procurement merupakan strategi yang tepat untuk menghadapi globalisasi. Selain itu, penerapan e-procurement dipandang sebagai upaya untuk menyesuaikan kepentingan antara pengguna barang/jasa dan penyedia.
Pada tahun 2003 pula, diterbitkan Keputusan Presiden no.80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang mengamanatkan dibentuknya sebuah lembaga khusus untuk mengurus masalah kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah. Keppres ini berlanjut dengan hadirnya Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Publik (PPKPB) di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Perbaikan system pengadaan barang/jasa semakin mendapat tempat dalam tata kelola pemerintahan, sejalan dengan komitmen pemerintah untuk memberantas korupsi. Diterbitkannya Inpres No. 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, yang antara lain berisi instruksi kepada Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Keuangan dan Bappenas untuk melakukan kajian dan uji coba pelaksanaan e-procurement, sebuah system yang nantinya bisa digunakan oleh seluruh instansi pemerintah. Namun baru pada tahun 2006, Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Bappenas mengembangkan Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Kehadiran Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi (deTIKnas) yang dibentuk dengan Keppres no. 20 tahun 2006, menjadi pendorong pengembangan sistem pengadaan barang/jasa secara elektronik, dimana deTIKnas menjadikan e-procurement sebagai satu dari tujuh program prioritas mereka.
Pada tahun 2007, pelelangan secara elektronik pertama dilakukan melalui LPSE oleh Bappenas dan Departemen Pendidikan Nasional. Pemerintah Kota Surabaya, Kementerian PU dan Kementerian Kominfo tercatat sebagai instansi pemerintah pertama yang menyelanggarakan pengadaan barang/jasa secara elektronik.
Pada 6 Desember 2007, pemerintah menerbitkan Keppres no. 106 tahun 2007 tentang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), sebuah lembaga pemerintah non kementerian yang bertanggungjawab langsung kepada presiden dan dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya berkoordinasi dengan Bappenas. LKPP menyatakan diri sebagai lembaga yang bertanggungjawab untuk mencapai sasaran-sasaran nasional seperti diamanatkan dalam RPJMN 2010-2014, dengan prioritas di bidang aparatur pemerintahan yang baik, peningkatan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Secara spesifik, fungsi dan kewenangan lembaga ini adalah menyelenggarakan tata kelola pemerintahan yang baik dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.
Hadirnya LKPP juga dimaksudkan sebagai upaya negara untuk mensejajarkan diri dengan masyarakat internasional yang telah terlebih dahulu memiliki lembaga khusus untuk mengatur pengadaan barang/jasa seperti Office of Federal Procurement Policy (OFPP) di Amerika Serikat, Office of Government Commerce (OGC) di Inggris, Government Procurement Policy Board (GPPB) di Filipina, Public Procurement Policy Office (PPPO) di Polandia, dan Public Procurement Service (PPS) di Korea Selatan.
#e-procurement