LKPP menyatakan bahwa penyelenggaraan e-procurement bagi pemerintah bertujuan antara lain untuk meningkatkan transparansi proses pengadaan, mengurangi biaya, meningkatkan efisiensi harga dan waktu pengadaan, memberikan layanan publik yang lebih baik, meningkatkan kinerja organisasi serta memudahkan pelaksanaan monitoring dan audit. Lebih jauh lagi, sebagai sebuah system belanja yang digunakan oleh pemerintah, e-procurement dimaksudkan sebagai contoh perwujudan semangat reformasi birokrasi di pemerintahan, khususnya dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih dan baik (clean and good governance).
Dari sisi masyarakat, e-procurement diharapkan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat akan akses informasi real time, yang sejalan dengan tuntutan pemenuhan informasi public terkait proses pengadaan barang dan jasa. Selain itu, e-procurement diharapkan dapat menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat, dengan memberikan kesempatan bagi seluruh lapisan masyarakat, khususnya UKM, untuk bersaing secara sehat dengan perusahaan besar.
Kelahiran e-procurement sebagai system pengadaan barang dan jasa pemerintah, lahir dari hasil pemetaan kelemahan pada system pengadaan konvensional (non elektronik) dan ditujukan pula untuk menjawab tantangan dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah kedepan. Singkatnya, digitalisasi system pengadaan barang dan jasa pemerintah memiliki berbagai kelebihan yang tidak dimiliki oleh system pengadaan barang dan jasa konvensional. Salah satu kelebihan e-procurement yang paling sering diungkapkan dalam berbagai tulisan adalah bahwa e-procurement merupakan system yang ideal untuk menghilangkan praktek korupsi yang banyak terjadi dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah. Digitalisasi system pengadaan barang dan jasa dengan sendirinya akan menghapus lobi-lobi yang mungkin terjadi antara pejabat pengadaan dengan penyedia maupun antara Unit Layanan Pengadaan (ULP) dengan penyedia.
Tujuan lain penggunaan e-procurement adalah membuka persaingan usaha yang sehat bagi masyarakat serta meningkatkan efisiensi dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. Berdasarkan data tahun 2008, LKPP menyebutkan hanya 3.5% dari 4.2 juta perusahaan yang bergerak di sektor barang/jasa yang aktif mengikuti pengadaan barang/jasa pemerintah. Tidak aktifnya 96.5% perusahaan ini menjadi tanda tanya, mengingat besarnya anggaran pengadaan barang dan jasa pemerintah. Menurut LKPP, pada tahun 2009, pengadaan barang dan jasa melalui APBN tercatat sebesar 450 triliun rupiah. Dari jumlah tersebut kemudian diketahui terjadi inefisiensi sebesar 20%. Besarnya inefisiensi yang telah terjadi dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah tentunya akan menunjukkan angka yang sangat besar, mengingat system pengadaan barang dan jasa konvensional telah digunakan di instansi pemerintah berpuluh tahun lamanya.
Berbagai fakta yang dikumpulkan tentang system pengadaan barang dan jasa konvensional, menunjukkan berbagai kelemahan yang harus dibenahi pemerintah. Fakta-fakta tersebut juga menunjukkan bahwa bahwa sistem pengadaan barang/jasa pemerintah tidak sesuai dengan Keputusan Presiden no.18 Tahun 2000 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah, yang antara lain menyebutkan “agar pengadaan barang/jasa Instansi Pemerintah dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien, dengan prinsip persaingan sehat, transparan, terbuka dan perlakuan yang adil dan layak bagi semua pihak, sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan bagi dari segi fisik, keuangan maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas pemerintah dan pelayanan masyarakat”.
#e-procurement #pengadaanbarangjasapemerintah #lpse